Ada masa-masa dalam hidup di mana keheningan jauh lebih menyesakkan daripada sekadar kata-kata yang menyakitkan. Keheningan tercipta salah satunya karena segala sesuatu telah kehilangan alasan untuk terus diperjuangkan. Dan aku, barangkali telah terlalu lama bertahan dalam ruang sunyi yang kamu ciptakan, ruang yang kamu istilahkan sebagai sebuah hubungan, tapi isinya hanya aku dan bayanganmu yang semakin samar.
Aku ingat betul awal mula kita mulai akrab. Sederhana, hangat, dan menggembirakan. Ada senyum kecil yang terbentuk setiap kali notifikasi darimu muncul di layar ponselku. Aku akan menghentikan apa pun aktivitas yang tengah kulakukan hanya untuk membaca dan membalas pesanmu. Semua itu terjadi karena dalam hidupku, kamu telah menjadi bagian yang ingin kuutamakan, bahkan sebelum kamu sendiri menyadarinya.
Tapi lambat laun, kamu mulai berbeda. Balasanmu datang terlalu lama, tidak seperti sebelum-sebelumnya, sering kali seperti sisa-sisa tenaga di ujung hari. Aku masih memaklumi, sebab setiap orang punya dunia yang perlu diurus. Namun ketika kesibukan berubah menjadi alasan yang abadi, dan kehadiranku tidak pernah cukup mendesak untuk diperhatikan, aku mulai bertanya-tanya: mungkinkah aku hanya sementara bagimu, sementara kamu sudah menjadi pusat orbitku?
Aku mulai merasa seperti pengemis perhatian, yang selalu menanti kapan waktumu luang, kapan perhatianku pantas untuk disambut. Aku menulis panjang-panjang, kamu membalas singkat. Aku bertanya dengan semangat, kamu menjawab seadanya. Aku hadir sepenuh hati, sedangkan kamu datang dan pergi tanpa permisi.
Begitu banyak malam sudah kulalui dengan ponsel yang selalu berada di dekatku, hanya untuk memastikan kalau aku tidak melewatkan satu pun kabar darimu. Namun semakin lama, aku semakin menyadari: yang sebenarnya kutunggu bukan hanya sekadar balasan, melainkan keyakinan bahwa aku tidak sendiri dalam jalinan ini. Bahwa ada dua hati yang sama-sama sedang berjuang, bukan hanya satu yang terus memanggul segalanya.
Konfliknya sesungguhnya bukan terletak pada keterlambatanmu, melainkan pada ketidakpedulian yang terasa. Aku mampu menunggu, tetapi aku tak sanggup terus merasa seperti satu-satunya yang berusaha. Kamu sering mengatakan peduli, namun kehadiranmu selalu datang saat mudah, saat luang, saat segalanya sudah rapi. Seakan aku hanyalah jeda dari riuh duniamu, padahal aku ingin dipercaya menjadi bagian dari duniamu itu.
Hingga pada satu malam yang hening, aku mulai berhenti mengetik. Tidak ada lagi “kamu sedang apa?”, tidak ada lagi “tidak apa-apa kalau sibuk, aku hanya ingin tahu kabarmu.” Aku duduk dan merenungi, kemudian bertanya pada diri sendiri: untuk apa aku terus menunggu seseorang yang tak pernah benar-benar hadir?
Klimaks dari semua ini tidak muncul dalam ledakan kemarahan atau tangis yang pecah. Yang lahir justru keputusan yang tenang, perlahan, dan tak mungkin diubah. Aku berhenti membalas. Bukan karena rasa peduliku sirna, melainkan karena aku akhirnya memilih peduli pada diriku sendiri. Aku lelah menjadi orang yang tidak dipedulikan, lelah menunggu kabar dari seseorang yang tak pernah menungguku kembali.
Aku akhirnya memahami, bahwa cinta tidak hanya terletak pada siapa yang lebih cepat membalas pesan, melainkan pada siapa yang sungguh ingin hadir. Dan aku membutuhkan seseorang yangーbahkan di tengah kesibukannyaーtetap berusaha membuatku merasa cukup.
Penutup dari semua ini bukanlah pintu yang akan kukunci rapat-rapat, melainkan jalan yang kupilih untuk ditinggalkan perlahan. Dengan kepala tegak. Dengan hati yang belajar: mencintai memang tidak pernah salah, namun menggantungkan diri pada seseorang yang enggan mencintai kembali adalah bentuk dari kebodohan yang hakiki.
Dan bila suatu hari kamu menyadari bahwa aku tidak lagi membalas, semoga kamu paham: diamku bukan bentuk kemarahan. Diamku adalah akhir dari ketulusan yang terlalu lama disepelekan.
No comments:
Post a Comment