Sep 21, 2019

Bukan Sekadar Balasan Pesan

    Ada masa-masa dalam hidup di mana keheningan jauh lebih menyesakkan daripada sekadar kata-kata yang menyakitkan. Bukan karena tidak ada yang ingin dikatakan, melainkan karena tidak ada yang diperjuangkan. Dan aku, barangkali telah terlalu lama bertahan dalam ruang sunyi yang kamu ciptakan, ruang yang katanya bernama hubungan, tapi yang isinya hanya aku, dan bayanganmu yang samar-samar.

   Aku ingat betul awal mula kita bicara. Sederhana, hangat, dan menggembirakan. Ada senyum kecil yang terbentuk setiap kali notifikasi darimu muncul di layar ponselku. Aku akan menghentikan apa pun aktivitas yang tengah kulakukan hanya untuk membaca dan membalas pesan darimu. Bukan karena aku tidak punya kegiatan lain yang harus kuselesaikan, tapi karena dalam hidupku, kamu adalah bagian yang ingin kuprioritaskan. Aku menjadikanmu sesuatu yang penting, bahkan sebelum kamu meminta tempat.

    Tapi lambat laun, kamu mulai berbeda. Balasanmu datang terlalu lama, tidak jarang seperti sisa-sisa tenaga di ujung hari. Aku masih memaklumi bahwa semua orang juga punya kegiatannya masing-masing, punya dunia sendiri yang harus diurus. Tapi ketika kesibukanmu menjadi alasan abadi, dan kehadiranku tidak pernah cukup mendesak untuk diperhatikan, aku mulai bertanya-tanya: mungkinkah aku hanya sementara bagimu, sementara kamu sudah menjadi pusat orbitku?

    Aku mulai merasa seperti pengemis perhatian, yang selalu menanti kapan waktumu luang, kapan perhatianku pantas untuk dibalas. Aku menulis panjang-panjang, kamu membalas dengan singkat. Aku bertanya dengan penuh semangat, kamu menjawab seadanya. Aku hadir, kamu kadang datang, kadang lenyap. Seolah seperti aku yang terlalu antusias sendiri.

    Ada banyak malam yang kuhabiskan dengan ponsel yang selalu berada di dekatku, hanya untuk memastikan kalau aku tidak melewatkan satu pun pesan darimu. Tapi semakin lama, aku semakin menyadari: yang kutunggu bukanlah balasan pesan, tapi kepastian bahwa aku tidak sendiri dalam jalinan ini. Bahwa aku bukan satu-satunya yang berjuang untuk dua nama.

    Konfliknya bukan pada keterlambatanmu, tapi pada ketidakpedulianmu. Aku bisa menunggu, tapi aku tidak sanggup terus merasa seperti satu-satunya yang mencintai. Kamu bilang kamu peduli, tapi kamu hanya datang saat mudah, saat luang, saat segalanya telah rapi. Dan tidak ada yang menyita waktumu lebih penting dari balasan singkat untukku. Aku tidak ingin hanya menjadi jeda dari riuhnya duniamu. Aku ingin menjadi bagian dari dunia itu, bukan sekadar pengisi kekosongan.

    Hingga pada satu malam yang sunyi, aku berhenti mengetik. Tidak ada lagi “kamu sedang apa?”, tidak ada lagi “tidak apa-apa kalau sibuk, aku hanya ingin tahu kabarmu.” Aku duduk dalam diam, dan akhirnya bertanya pada diri sendiri: mengapa aku harus terus menunggu seseorang yang tidak pernah benar-benar datang?

    Klimaks dari semua ini bukan ledakan kemarahan atau air mata yang tidak terbendung. Tapi keputusan yang pelan, tenang, dan tidak bisa diubah. Aku berhenti membalas. Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku terlalu peduli pada diriku sendiri. Aku lelah menjadi pilihan cadangan, aku lelah menunggu pesan dari seseorang yang tidak pernah menungguku kembali.

    Cinta, aku sadari, bukan soal siapa yang lebih dulu membalas pesan. Tapi siapa yang lebih dulu ingin hadir. Dan aku butuh seseorang yang, bahkan di tengah segala kesibukannya, akan tetap mencari cara untuk membuatku merasa cukup.

    Penutup dari semua ini bukanlah pintu yang akan kututup rapat-rapat, tapi jalan yang akhirnya kutinggalkan secara perlahan. Dengan kepala tegak. Dengan hati yang belajar: bahwa mencintai tidak pernah salah, tapi dengan terus berharap kepada orang yang tidak berusaha mencintai kembali, itulah yang perlahan mengikis kita.

    Dan bila suatu hari kamu menyadari bahwa aku tidak lagi membalas, semoga kamu tahu: itu bukan bentuk kemarahan. Itu adalah bentuk akhir dari ketulusan yang sudah terlalu lama berdiri sendirian.

No comments:

Post a Comment