Jun 2, 2025

Senin Pertama Bulan Juni

this image is generated with AI

From sharing everything to not even uttering a single word.


Seperti dua orang yang pernah dekat, lalu asing, dan tidak saling menghiraukan.

    Senin pagi itu tidak gaduh, dan tidak juga sepi. Seolah langit lupa caranya menangis, dan bumi tidak tahu lagi caranya tertawa. Seperti dua manusia yang pernah berbagi rahasia di bawah rindangnya masa lalu, kini duduk di bangku yang sama, tetapi saling diam. Tidak pernah menyapa. Tidak tahu harus mulai dari mana. Hanya diam. Seolah yang tersisa hanyalah kehangatan, dan tidak cukup kuat untuk kembali menyulut api.

Seperti seekor marmut yang terus berputar dalam roda penyesalan.

    Keriuhan kota tidak sepadan dengan keheningan di relung jiwa. Di luar, semuanya berjalan serba cepat: klakson kendaraan, langkah kaki yang tergesa-gesa, dan berita-berita yang disiarkan di awal pagi. Tapi di dalam kepala, ada satu pikiran yang terus menggelinding: seandainya aku lebih berani, mungkin kita masih berbicara. Seperti marmut yang berlari di dalam roda, berputar, lelah, tapi tidak pernah sampai. Penyesalan bukan soal waktu, tapi arah yang tidak pernah dipilih.

Seperti orang yang diam-diam memenuhi catatannya dengan perasaan yang tidak tersampaikan.

    Udara membawa kabar kesunyian. Ia merasuk ke sela-sela kancing baju dan menetap di dalam perasaan. Seseorang yang sedang menatap halaman kosong di depan matanya, bukan karena tidak tahu apa yang ingin ditulis, tetapi karena takut jika tulisannya akan membuatnya rapuh. Lalu satu demi satu kata dituangkan, diam-diam, pelan-pelan. Perasaan-perasaan yang tidak sempat ia ucapkan, kini menjadi rahasia yang hanya bisa dibaca oleh kertas dan tinta.

Seperti sedang terbang menujumu sembunyi-sembunyi.

    Langit tidak sedang menangis, tapi ia juga tidak cerah. Seperti perasaan yang tidak diberi nama, mengambang, samar, enggan dijelaskan. Seperti sedang terbang, tetapi tidak menggunakan sayap, melainkan dengan ingatan. Menujumu, diam-diam. Lewat detak jam, lewat bayangan di cermin, lewat lagu yang tiba-tiba terputar di tengah perjalanan. Kau tidak pernah tahu, atau bahkan tidak peduli. Namun aku selalu mencarimu dalam bentuk-bentuk yang tidak terduga.

Seperti berusaha menyibukkan diri, agar terlihat sedang tidak memikirkanmu.

    Di atas meja kerja, jari-jari sibuk mengetik hal yang tidak berarti. Di luar, dunia melihatku produktif, efisien, berguna. Tapi di sela-sela semua itu, ada jeda-jeda kecil yang kugunakan untuk mengingatmu. Menyibukkan diri bukanlah solusi, tapi penyangkalan. Aku berpura-pura sibuk agar tidak terlihat sedang menunggumu. Padahal dalam kesendirian, aku selalu berharap kamu akan tiba-tiba hadir.

Seperti hujan yang mengguyurku agar rinduku berhenti membara.

     Hujan turun secara perlahan, seperti isyarat yang diberikan oleh semesta bahwa luka juga harus segera diredakan. Tapi dingin yang tercipta tidak cukup kuat untuk memadamkan rinduku. Ia bukanlah bara yang meletup-letup, ia adalah nyala kecil yang senantiasa terus bertahan, hangat tapi menyakitkan. Hujan yang datang hanya sebagai pengalih dan sebagai pelipur. Tapi bahkan tetes-tetesnya pun menyerupai suaramu. Aku masih saja membara, walaupun basah kuyup oleh kenangan.

No comments:

Post a Comment