![]() |
Loro ati kan? Salah e tulus. |
Selepas itu, hari-hari terasa lebih berwarna bagi Rafa. Ia yang biasanya memilih duduk menyendiri di pojok kantin, kini kerap berbagi bangku dengan Clara, menyeruput teh poci sambil membicarakan hal-hal remeh yang justru membuat hari-hari mereka terasa hidup. Rafa diam-diam menyukai Clara, tapi tak pernah berani untuk menyatakan secara langsung. Namun dari perhatiannya, waktu yang ia berikan, serta caranya memandang, semuanya bicara lebih banyak dari pada kata-kata.
Namun, seperti cerita yang terlalu indah untuk tetap sederhana, segalanya berubah pada suatu siang di hari Rabu selepas ujian akhir semester. Hari itu, Rafa duduk sendirian di kantin, menenangkan diri setelah menghadapi soal Geografi dan Matematika, kombinasi mata pelajaran yang membuat kepalanya pening. Ia membeli teh poci dari ibu kantin langganannya dan terlibat percakapan ringan, seperti biasa.
Tanpa disadari, waktu bergulir terlampau cepat. Matahari sudah mulai condong ke barat. Rafa tersentak dan buru-buru kembali ke kelas, berniat mengambil tasnya dan segera pulang. Tapi pintu yang terbuka lebar justru memperlihatkan pemandangan yang membuat tubuhnya membatu di depan pintu. Di dalam kelas yang sudah kosong karena semua siswa sudah pulang, terlihat seorang laki-laki dari kelas IPA 2 tengah berlutut di hadapan Clara, memegang sebuah boneka beruang berukuran cukup besar. Rafa terpaku, dunianya seakan terhenti. Di kepalanya langsung tergambar detik-detik yang biasanya ia nikmati bersama Clara, kini terasa seperti mimpi yang tiba-tiba berubah menjadi kabut yang menutup pandangan. Dengan suara pelan, ia meminta maaf karena telah mengganggu momen kedua orang tersebut, kemudian bergegas untuk mengambil barang-barangnya dan segera melangkah keluar secepat mungkin.
Hari-hari setelahnya berubah menjadi sunyi. Tidak ada lagi senyum yang saling bersambut saat peralihan jam pelajaran. Tidak ada lagi obrolan ringan di bangku kantin. Mereka serupa dua orang yang pernah dekat, lalu asing, tidak saling menghiraukan. Rafa tidak pernah menanyakan, Clara tidak pernah menjelaskan. Hening itu menggantung cukup lama, hingga akhirnya menjadi jeda yang tidak pernah usai.
Pada akhirnya Rafa pun belajar untuk menerima. Bahwa tidak semua kedekatan harus berujung menjadi kisah, dan tidak semua rasa harus diterjemahkan menjadi kepemilikan. Namun, jika suatu waktu nanti ada seseorang yang bertanya pada Rafa tentang apa yang pernah membuat hidupnya terasa berarti, ia akan dengan tegas menjawab, "Waktu itu, saat aku duduk di kantin, menyeruput segelas teh poci, melihat dan mendengar Clara tertawa. Sesederhana itu."
*Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, maupun cerita, itu hanyalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
No comments:
Post a Comment