![]() |
Loro ati kan? Salah e tulus. |
Perkenalan mereka tidak berawal dari kisah mencolok. Hanya saling meminjam alat tulis, lalu lanjut bertukar cerita lewat aplikasi pesan singkat LINE atau WhatsApp. Namanya Clara, seorang perempuan yang mampu membuncah-kan rasa kagum Brian hanya dengan perhatian-perhatian yang sederhana namun manis. Selepas itu, hari-hari terasa lebih berwarna. Ia yang biasanya memilih duduk sendiri di pojok kantin, kini kerap berbagi bangku dengan Clara, menyeruput teh poci sambil membicarakan ihwal remeh yang justru terasa elok.
Kebiasaan itu menjadi semacam tajuk utama dalam keseharian Brian. Ia diam-diam menyukai Clara, meski tak pernah berani menggadai egonya dengan sebuah pernyataan langsung. Namun dari caranya memandang, dari barisan waktu yang ia dompleng-kan untuk selalu dekat, semuanya adalah testimoni yang lebih kuat dari sekadar ejaan untaian puja.
Seperti sebuah ode yang terlalu indah untuk tetap sederhana, kisah itu menemukan jejasnya pada suatu siang selepas ujian akhir semester. Brian duduk sendiri di kantin, menenangkan diri dari adu kelahi dengan soal Geografi dan Matematika yang membuat kepalanya sesak. Teh poci yang ia beli dari ibu kantin langganannya hanya sedikit mampu meredakan kelu. Ia tak sadar waktu melaju, hingga matahari mulai agak condong ke barat.
Ketika kembali ke kelas, pintu yang terbuka memperlihatkan pemandangan yang membuatnya rebah dalam batin. Di dalam ruangan yang sudah lengang itu, terlihat seorang siswa dari kelas IPA 2 yang tengah berlutut di hadapan Clara, sembari memboyong sebuah boneka beruang besar sebagai penanda rasa. Dunia Brian seolah membeku, arus pikirannya terhenti. Dengan suara pelan, kemudian ia meminta maaf karena telah mengganggu momen tersebut, dan kemudian bergegas mengemasi barang-barangnya dan segera keluar. Tapak jejaknya ketika meninggalkan kelas terasa begitu berat, seolah setiap langkah adalah puing yang mengganjal di relung hatinya.
Hari-hari setelah itu diliputi senyap. Tidak ada lagi senyum yang saling menentang jarak di koridor sekolah. Tidak ada lagi obrolan ringan yang meromantisasi waktu di kantin. Mereka serupa dua orang yang pernah membangun khazanah kecil kebersamaan, lalu larut menjadi asing. Brian tidak pernah menanyakan, Clara tidak pernah menjelaskan. Hening itu menjadi jeda pasca peristiwa, seolah takdir merangkai rekayasa yang kafah untuk membuat keduanya berjarak.
Namun, setiap peradaban kecil dalam hati punya cara untuk rampung. Brian pun belajar menerima. Bahwa tidak semua rasa harus mencari validasi dalam bentuk kepemilikan. Bahwa kebersamaan kadang hanya jejak sesaat, sesak ketika diingat, tetapi tetap relevan sebagai bagian dari kilas balik hidup.
Dan jika suatu saat ada yang bertanya padanya tentang apa yang pernah membuat hidupnya terasa berarti, Brian akan menjawab dengan sederhana, "Waktu itu, saat aku duduk di kantin, menyeruput segelas teh poci, mendengar Clara berseloroh sambil tertawa. Sesederhana itu—namun terpatri amat dalam, membuncah bagai ode yang menitik dalam ingatan".
*Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, maupun cerita, itu hanyalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
No comments:
Post a Comment