![]() |
Sido sayang aku po ora? Nek hooh tak omong ibuk. |
Aku lebih tertarik mengeksplorasi tempat berdasarkan apa yang ditawarkannya, tidak sekadar ikut dalam kebiasaan arus utama yang kadang hanya mengikuti trend semata. Terlebih lagi jika tempat-tempat itu kebetulan menyediakan sajian kopi beserta kudapan pelengkap lainnya yang nikmat. Ada beberapa tempat yang selalu jadi andalanku: racikan kopinya pas, suasananya tidak terlalu bising, dan pengunjung yang datang kebanyakan hanya ingin menikmati waktu sendiri, tanpa ingin terganggu dengan suara-suara bising. Di sana jarang sekali terlihat remaja-remaja yang biasanya gemar membuat gaduh sebuah tempat dengan segala tingkah lakunya; seperti sedang aduh kelahi ihwal yang tidak penting, meracau tanpa jeda dengan intonasi yang tinggi, atau tawa memekik yang terkadang mereka tidak sadar bahwa hal tersebut cukup mengganggu orang di sekitarnya.
Satu tempat yang rutin kuhampiri jika ingin mencari suasana pembeda dengan harapan bisa memantik ide-ide kreatif adalah, sebuah kafe kecil yang memenuhi semua prasyarat sebagai definisi tempat yang nyaman versiku. Tidak hanya sajian-sajian yang ditawarkannya saja yang enak, tetapi juga suasananya cukup mendukung untuk siapa pun yang butuh suasana tenang saat ingin WFA (Work From Anywhere). Seperti biasa, aku selalu kembali dengan menu andalanku; segelas kopi Sidikalang, beserta dua keping kue kering pendamping yang disisipkan di sisi gelas. Diminum lima sampai tujuh menit setelah disajikan di atas meja. Susunannya pasti berulang: gelas kopi berada di sisi kanan laptop dengan diapit dompet dan sebotol air mineral, kemudian di sisi kiri terdapat ponsel serta tumpukan kunci beserta pengisi daya portabel.
Aku adalah tipe orang yang suka lupa waktu bila terlampau fokus dalam mengerjakan sesuatu, kadang tidak terasa kalau sudah berjam-jam duduk menatap laptop tanpa sempat peduli sekitar. Aku duduk di tempat itu sejak matahari masih menggantung di langit dan tejanya mulai miring menyentuh dinding-dinding kafe, hingga akhirnya malam datang perlahan menjemputnya pulang. Dan ketika jam menunjuk pukul setengah tujuh malam, aku tersadar masih terpaku di kursi yang sama. Namun, perasaan "tanggung" pada setiap pekerjaan yang masih menunggu untuk dituntaskan, membuatku memutuskan untuk memperpanjang durasi berada di tempat itu. Tinggal beberapa lagi sudah rampung, pikirku.
Hingga tiba-tiba, mataku menangkapmu masuk melewati pintu depan.
Pikiranku langsung gaduh. Aku dan bagian diriku yang lain tengah bersilang pendapat, mendiskusikan bagaimana cara terbaik untuk menyapamu terlebih dahulu. Namun, tampaknya takdir memang tak suka untuk didesak, karena dia tidak suka berlama-lama menanti gerak lelaki yang keberaniannya terhenti di ujung lidah. Pada akhirnya, kamu yang terlebih dahulu menyapaku dengan gestur khas yang begitu lekat dalam ingatanku.
Kamu menghampiriku dan kita duduk berhadap-hadapan. Lebih kurang sudah tujuh tahun kita tidak bertemu semenjak terakhir kali bertatap muka saat mengikuti rangkaian acara purnawiyata kala itu. Sekilas yang kuperhatikan, tidak banyak yang berubah dari yang pernah kuingat dalam perjumpaan terakhir kita. Kamu masih tampak elok dalam setiap gerak gerikmu, dan aku masih saja terkesima akan semua itu.
Aku bersyukur saat itu kondisi antrean cukup padat, sehingga kita memiliki waktu sedikit lebih lama untuk berbincang mengenai banyak hal. Kita bercerita ngalor-ngidul, mulai dari nostalgia masa-masa sekolah hingga update tentang kehidupan masing-masing. Sikap kita bukan seperti seseorang yang sudah lama tidak berjumpa; terlalu mudah bagi kita untuk bisa melebur satu sama lain, seolah gaduh perpisahan kala itu tidak pernah ada.
Aku coba membangkitkan ingatan-ingatan masa lalu, mengulas kembali semua hal yang pernah kita lakukan bersama-sama. Apa kamu masih suka mendebat lawan bicaramu tentang mana yang lebih nikmat antara Sidikalang atau Gayo? Dan bila kamu sudah jengah dengan tajuk kopi, kamu mengalihkan dengan perdebatan yang lain yaitu antara bubur diaduk atau tidak diaduk. Kamu berkeyakinan bahwa cara terbaik dalam menikmati semangkuk bubur adalah dengan tidak diaduk; alasanmu, estetika juga penting dalam proses kita menikmati sebuah makanan. Di sisi lain, aku masih berpegang teguh pada prinsip bahwa, menikmati hidangan adiluhung seperti bubur melalui cara yang tidak diaduk adalah sebuah penghinaan terbesar pada peradaban umat manusia. Terlepas dari itu semua, rasanya masih banyak persoalan lain yang lebih penting untuk didiskusikan daripada sekadar mempertentangkan cara orang dalam menyantap sebuah hidangan.
Apa pun perdebatan yang pernah kita diskusikan kala itu, sesungguhnya yang kusukai bukan soal siapa yang menang atau benar. Aku justru lebih menikmati caramu menyusun argumen dengan menyertakan opini-opini yang terlihat begitu meyakinkan, meskipun sering kali isi dari substansinya tidak ada. Tetapi, dengan begitu aku mempunyai jeda waktu lebih panjang untuk bisa memandangi paras indahmu.
Hingga pesananmu sudah selesai dibuat: dua gelas es kopi susu gula aren tersaji di atas meja. Sejauh yang bisa kuingat, itu bukan menjadi favoritmu dalam memilih jenis sajian kopi. Kamu memberikan penjelasan bahwa spektrum ketertarikan seseorang terhadap sesuatu akan berganti-ganti seiring pertambahan usia. Namun, masih ada satu pertanyaan yang mengusik pikirku: aktivitas apa yang memaksamu untuk meneguk dua gelas es kopi gula aren tinggi kalori dalam waktu bersamaan? Kamu menjelaskan lebih lanjut jika salah satu dari pesanan itu ditujukan untuk kekasihmu yang sedang menunggu di dalam mobil. Ternyata, hari itu kalian baru saja menuntaskan sesi joging bersama di sebuah tempat yang tidak jauh dari kafe tersebut. Sebuah bentuk tetirah yang amat romantis untuk bisa dilabeli sebagai "hubungan yang sehat", baik secara harfiah maupun kiasan.
Seolah kalimat itu ingin menyayatku perlahan-lahan, dan berhasil.
Selepas itu, kamu berpamitan untuk pergi. Sempat terucap bahwa kamu berharap kita bisa bersua lagi di waktu-waktu mendatang. Aku tidak mengiyakan dan tidak juga menegasikan. Aku masih terkesiap dengan kalimat terakhir yang kamu beri sebelum kita menutup percakapan pada malam itu, tiga kata sederhana yang hingga kini masih sulit untuk kucerna sepenuhnya: "Kau sudah berkekasih"
Dari terakhir yang pernah kuingat ketika aku coba menyatakan perasaanku, kamu masih di tahap belum mau menjalin hubungan dengan siapa pun. Aku kira itu merupakan alasan yang benar-benar akan kamu pegang erat untuk menolak siapa saja yang berusaha mendekatimu. Tetapi kini aku sadar jika memang bukan aku yang kamu harapkan sedari awal.
Untuk menyudahi kisah pada hari itu, aku memutuskan untuk kembali memesan one shot espresso. Aku hanya ingin membandingkan mana yang lebih getir: setengah cangkir kopi hitam, atau realitas yang baru saja mengetuk pintu sadarku.
No comments:
Post a Comment