18 Juli 2016. Hari itu sebenarnya biasa saja. Hari Senin yang diawali dengan rintik kecil hujan, dan bertepatan dengan awal masuk sekolah setelah libur semester genap, sudah resmi beranjak dari kelas satu SMA. Tapi entah mengapa, sejak langkahku mengayun memasuki ruang kelas sebelah kantin itu, segalanya tak lagi terasa biasa.
Aku melihat seseorang yang asing sedang duduk di tengah ruang kelas, wajah baru di antara wajah-wajah lama yang telah lebih dulu kuhafal bentuk dan suaranya. Mataku sempat tertambat sebentar padanya, tidak lama, sekilas, tapi cukup untuk memantik rasa tanya. Siapa dia? Mengapa hadirnya terasa begitu kontras di tempat yang seharusnya sudah aku anggap rumah?
Beberapa hari kemudian, barulah aku tahu: dia adalah murid pindahan dari sekolah lain. Sekilas informasi sederhana yang seharusnya tak membuat detak jantungku kacau. Tapi nyatanya, ada yang aneh dalam diriku. Bukan hanya rasa ingin tahu biasa. Ada sesuatu yang mengusik diam-diam, membentuk gelombang kecil yang tak bisa kutenangkan dengan logika. Aku mulai berubah, sedikit canggung di kelas sendiri, lebih banyak memperhatikan gerak-geriknya, bahkan mulai melakukan hal-hal bodoh yang biasanya tak pernah aku lakukan hanya demi berharap dia melirik.
Kupikir ini hanya rasa suka biasa, mungkin karena usiaku yang sedang bertumbuh, mencari arah rasa. Tapi ternyata waktu membuktikan bahwa ini bukan tentang kedewasaan perasaan, melainkan tentang bagaimana satu pertemuan sederhana bisa mengubah arah seseorang secara diam-diam.
Setelahnya, waktu pun berjalan seperti biasa. Hingga pada suatu hari yang tenang, masih tertanam jelas di ingatanku saat itu bertepatan hari Jumat, sebuah notifikasi Line mengusik tidur pagiku yang tenang. Aku yang masih setengah sadar membaca satu nama yang tak asing. Dia menyapaku lebih dulu, mencoba menjembatani ruang kosong antara kami. Sementara aku, dalam ketololanku yang seperti biasa, lalu bertanya, “Bisa dapat kontakku dari mana?”
Tapi lucunya, dari satu pesan yang sangat biasa itu, kami mengalirkan percakapan panjang. Dari hal sepele hingga pertanyaan-pertanyaan kecil yang sebenarnya tak perlu dijawab, tapi entah kenapa ingin terus kutanyakan. Hingga jam hampir memasuki waktu jumatan, aku pun berpamitan untuk melaksanakan salat Jumat, dan tak sadar mengakhiri obrolan itu dengan pesan: “Nanti setelah jumatan aku kabari lagi.” sebuah kalimat aneh lain yang aku kirim. Entah mengapa juga aku sendiri tidak tahu, yang seharusnya obrolan kami selesai sampai di situ. Sesuatu yang belum pernah aku lakukan dalam lingkup pertemanan mana pun. Aku pun berubah menjadi seseorang yang "aneh".
Aku tertawa kecil. Sial. Lagi-lagi aku bertingkah bodoh. Tapi ada sesuatu yang menyenangkan dalam kebodohan itu. Sesuatu yang membuatku merasa seperti bocah kecil yang baru menemukan warna baru di halaman hidupnya yang semula hanya hitam-putih.
Setelah hari itu, kami mulai membentuk kebiasaan baru. Saling menyapa, bertukar cerita, bahkan saat tubuh kami sudah terpisah dari kursi kelas. Dia menjadi pesan pertama yang kubaca saat pagi, dan pesan terakhir yang kututup sebelum tidur. Padahal kami satu kelas. Kami bisa saja bicara langsung tanpa harus meminjam sinyal dan kuota. Tapi entah mengapa, ruang maya terasa lebih nyaman, lebih hangat.
Namun semua hal yang manis pun perlahan mulai menyimpan getirnya sendiri. Seiring waktu berjalan, aku mulai bertanya-tanya: apakah kami benar-benar hanya sebatas teman? Atau ini hanya aku, yang jatuh terlalu dalam sementara dia tetap berdiri di permukaan?
Dia tetap menjadi ramah, tetap hadir, tetap membalas pesan-pesanku. Tapi aku bisa merasakan jarak yang tak kasat mata, tumbuh seperti kabut tipis di antara kami. Aku mulai cemas setiap kali dia terlambat membalas. Aku mulai kecewa ketika ceritanya mulai melibatkan orang lain.
Aku tahu aku tidak pernah menyatakan apa-apa. Aku tidak pernah menyebut kata “suka” atau “rindu” atau “ingin bersamamu lebih lama” Tapi semua sikapku adalah isyarat. Semua pesanku adalah petunjuk.
Puncaknya, aku melihat dia sedang berjalan dengan orang lain. Seseorang yang juga aku kenal. Tapi tatapannya ke dia berbeda. Dan dari sana aku tahu, mungkin sejak awal aku hanya bermain sendiri dalam cerita yang kusebut “kita.”
Aku perlahan menjauh, bukan karena ingin melupakan, tapi karena tak tahu lagi bagaimana harus mendekat tanpa menyakiti diri sendiri. Dia mungkin tidak sadar, atau mungkin sadar tapi memilih diam. Dan diam itu jauh lebih menyakitkan daripada penolakan.
Kini, setiap kali aku mengingat 18 Juli 2016, aku tidak lagi melihat hari pertama sekolah atau ruang kelas yang bising. Yang kulihat adalah pertemuan pertama yang tak kuharapkan akan tumbuh menjadi luka. Tapi toh, hidup memang seperti itu. Beberapa cerita memang ditulis hanya untuk dikenang, bukan untuk dijalani sampai akhir.
No comments:
Post a Comment