![]() |
Life is too short, talk to your crush. |
Sudah lima tahun sejak terakhir kali keduanya saling bertatap. Walaupun kampus tempat mereka menimba ilmu berada di kota yang sama, tapi takdir seolah enggan untuk mempertemukan mereka. Rafa menyimpan segalanya rapat-rapat: foto-foto lama, rekaman tawa dari masa sekolah, dan kenangan tentang Clara yang selalu tampil tenang di tengah keramaian.
Saat hari acara tiba, Rafa sudah siap dengan penampilannya yang rapi. Rambutnya dipangkas bersih, mengenakan atasan batik warna merah marun favoritnya, dipadukan dengan bawahan celana bahan warna biru dongker, dan sneakers putih yang baru dibeli minggu kemarin. Ia hanya tak ingin terlihat lusuh ketika bertemu dengan Clara.
Pesta pernikahan itu ramai. Banyak wajah dikenalinya, sebagian memantik ingatan-ingatan masa sekolah, dan sebagian lainnya hanya bayang samar dari masa lalu. Namun matanya hanya ingin mencari satu sosok. Dan ketika Clara muncul, mengenakan dress biru muda yang sederhana namun memikat, Rafa tahu bahwa segalanya tak banyak berubah. Senyum itu masih mampu merobohkan dunianya dalam sekejap.
Mereka berdua sempat berbincang-bincang sejenak. Sekadar basa-basi tentang pekerjaan, tempat tinggal, atau update perihal kehidupan masing-masing. Namun, dari semua tajuk yang mereka obrolkan tak ada yang benar-benar membicarakan luka. Tak satu pun dari mereka menyebut tentang “dulu”, atau alasan mengapa setelah lulus, mereka tak lagi mencoba saling menemukan.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Clara.
“Masih sama,” jawab Rafa, lirih, “Masih sama seperti yang terakhir kali kita jumpa, tidak ada yang berubah begitu drastis.”
Clara tersenyum, lalu ia mengalihkan pandangannya, seolah mengerti tapi tak tahu harus menjawab apa. Di sekeliling mereka, musik berdenting, gelak tawa bersahutan dari berbagai sudut venue, dan sorak-sorai kebahagiaan sedang dirayakan. Di antara keriuhan yang tercipta pada acara tersebut, ada jeda panjang yang tak bisa disela dengan tawa ringan yang menghinggapi antara Rafa dan Clara.
Tak terasa hari pun mulai menggelap, pesta pun akan segera usai. Rafa menatap Clara untuk yang terakhir kali sebelum keduanya akan berpisah, dan tak tahu kapan akan bersua lagi dikemudian hari. “Kalau waktu bisa diulang,” kata Rafa perlahan, “Aku tak akan meminta banyak hal, cukup satu percakapan seperti ini, tapi yang tak buru-buru disudahi.”
Clara menatapnya lembut, kemudian membalas. “Waktu memang tak bisa diulang, Raf. Tapi kita selalu bisa menata langkah baru.”
Lalu kemudian ia pun berpamitan kepada Rafa, dan melangkah menjauh di antara lampu-lampu temaram dan nyanyian perpisahan. Rafa hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menghilang, sama seperti waktu dulu saat mereka merayakan kelulusan, saling berpamitan tanpa sempat benar-benar mengucap “selamat tinggal”.
Malam itu Rafa pulang dengan hati yang sesak tapi tenang. Ada luka yang masih belum pulih, tapi ia tak lagi bertanya mengapa. Kadang, pertemuan tak ditakdirkan untuk berujung pada kebersamaan. Tapi cukup untuk mengingatkan, bahwa pernah ada seseorang yang membuat hati percaya bahwa cinta, sekadar hadir saja, sudah cukup untuk dikenang seumur hidup.
*Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, maupun cerita, itu hanyalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
No comments:
Post a Comment