![]() |
Kredit foto: @PSSleman |
Stadion Gelora Bangkalan menjelma menjadi panggung megah dari duel penuh pertaruhan, sebuah kisah penuh tensi tercipta pada sore itu. Tidak hanya tiga angka yang sedang diperebutkan, namun juga satu tempat terakhir untuk tetap berdiri sejajar di pentas teratas sepak bola Indonesia pada musim berikutnya. Di laga pamungkas ini, PSS Sleman datang membawa nasib, dengan ribuan doa yang menempel erat di pundak para pemainnya. Ribuan suporter riuh memadati sudut-sudut stadion, mereka datang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Mereka hadir turut serta membawa semangat, nyanyian, dan cinta yang sudah tertanam sejak lama. PSS melakoni partai hidup-mati melawan Madura United, dan kemenangan adalah salah satu jalan yang harus ditempuh. Tak cukup sampai di situ, dua pesaing lainnya di papan bawah klasemen, yaitu Barito Putera dan Semen Padang, wajib tumbang dari lawannya masing-masing, agar PSS bisa selamat dari jerat degradasi.
Peluit kick-off babak pertama ditiupkan, pertandingan berjalan penuh gairah dan tensi tinggi sedari menit pertama. Para pemain Super Elja yang turun di sebelas pertama terlihat tampil lepas dan cair, meneruskan tren positif yang sempat tampak dalam laga-laga sebelumnya saat melawan PSM Makassar, PSIS Semarang, dan Persija Jakarta. Umpan-umpan pendek yang mengalir dari kaki ke kaki membentuk pola permainan yang amat memukau. Setiap sentuhan menyimpan estetika, menjadikan pertandingan serupa pertunjukan seni yang memesona. Gol pertama yang ditunggu-tunggu akhirnya datang di menit ke-34 lewat sepakan keras dari Betinho yang mengarah ke pojok kanan bawah dari gawang yang dikawal oleh Aditya Harlan, kemudian disusul gol kedua yang kali ini disumbang oleh Tocantins di menit ke-41 memanfaatkan assist yang manis dari Vico. Sontak harapan melonjak tinggi, peluk bahagia mengalir. Namun tidak ada yang benar-benar bisa merasa tenang, sebab di tempat lain, nasib yang sama juga sedang diperebutkan.
Istirahat jeda babak pertama. Kabar dari dua pertandingan lain sementara masih belum berpihak, Barito dan Semen Padang yang diharapkan kalah dari lawan masing-masing justru malah imbang. Harapan terus menggantung di udara, di tribun, wajah-wajah gusar mulai menampakkan wujudnya. Mata yang tadinya berbinar, kini mulai mengarah ke layar ponsel masing-masing, menanti kabar baik dari tempat yang berbeda.
Paruh kedua dimulai. Sorak-sorai dari para suporter PSS menggema lebih lantang dari babak sebelumnya, gemuruhnya terdengar hingga menyelimuti seisi stadion. Permainan berlangsung cukup intens, baik PSS maupun Madura United saling jual beli serangan, bahkan di beberapa momen, Madura United hampir saja mampu memperkecil ketertinggalan, namun penampilan menawan dari Alan José di bawah mistar gawang mampu membendung peluang-peluang berbahaya dari para pemain Madura United. Ketika permainan memasuki tensi yang semakin meninggi, PSS Sleman justru menambah keunggulan di menit ke-80. Kali ini, umpan manis yang dilepaskan Tocantins mengudara sempurna dan disambut oleh sundulan tajam dari Cirino yang tidak mampu dibendung oleh kiper lawan, menegaskan dominasi penuh sang tamu di tanah Madura. Namun, petaka justru hadir di pertengahan babak kedua, kabar tak mengenakkan hadir dari laga yang lain, di mana Semen Padang dan Barito Putera sama-sama sedang unggul atas lawannya. Harapan yang semula tumbuh, perlahan mulai runtuh. Nyanyian mulai lirih, teriak dukungan berganti sunyi. Suporter yang semula berdiri gagah, kini mulai duduk terdiam, raut wajah mereka terlihat muram. Sorot-sorot matanya memang menatap jalannya pertandingan, tapi pikirannya mengembara entah ke mana. Semua sadar, waktu berjalan terlalu cepat, kesempatan mulai menyempit, dan harapan perlahan menjadi kepingan yang tak utuh lagi.
Peluit panjang yang menandakan selesainya pertandingan pun akhirnya ditiupkan. Laga berakhir, begitu pun kesempatan PSS untuk bertahan di Liga 1 pada musim berikutnya. Skor akhir 3-0 untuk kemenangan Super Elja. PSS Sleman memang menang, namun itu belum cukup. PSS resmi turun kasta, tangis haru mulai silih berganti sayup-sayup terdengar. Umpatan-umpatan dan sumpah serapah mulai bersautan, di kanan, kiri, depan, belakang. Tidak ada laki-laki atau perempuan, semuanya adalah pencinta yang tengah menghadapi patah hati kolektif. Duka ini soal kehilangan satu tempat di kasta tertinggi yang sebelumnya sudah diperjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata.
Dalam beberapa laga terakhir, performa PSS sebenarnya sudah cukup baik. Sang nahkoda, Pieter Huistra, berhasil membentuk struktur pola bermain yang menjanjikan, pergerakan pemain menjadi lebih dinamis, dan aliran bolanya pun hidup. Tapi, musim tidak hanya tentang pekan-pekan terakhir, ia adalah maraton panjang yang membutuhkan konsistensi. Dan itu yang tak pernah benar-benar dimiliki oleh PSS Sleman musim ini, bahkan juga di beberapa musim sebelumnya. Masalah yang sama terus saja berulang, manajemen datang dan pergi silih berganti. Strategi berubah-ubah, dan identitas tim diotak-atik seolah tak punya marwah. Seperti tidak ada pelajaran dari masa lalu yang benar-benar diingat. Akhirnya, untuk kesekian kali, PSS kembali terjerembab ke tempat yang dahulu pernah ditinggalkan.