Pada suatu masa yang kini hanya bisa renungi dalam kesendirian, kita pernah berada di bawah atap yang sama. Sebuah tempat sederhana yang menjelma menjadi gelanggang takdir, titik temu antara dua anak manusia yang tak pernah tahu akan berakhir seperti apa. Hari-hari berputar sebagaimana mestinya: ramai di luar, namun selalu meninggalkan jejak tanda tanya di dalam benakku. Tentangmu. Tentang perasaan yang diam-diam tumbuh berseri indah di taman hatiku, memekik dalam senyap, dan menyuburkan sesuatu yang sebelumnya gersang.
Aku tidak pernah berujar secara gamblang bahwa aku menyukaimu. Karena aku harus ingin memastikan terlebih dahulu bahwa rasa yang hadir bukan sekadar obsesi semu yang tumbuh dari gurau waktu, atau sekadar resurjensi dari rasa penasaran yang keliru. Aku ingin mencintaimu dengan sesadar-sadarnya, dengan kafah, tidak dengan gegabah. Sebab aku takut, jika nanti alasanmu bersedih justru karena bersamaku. Maka dari itu aku harus belajar menahan diri, memastikan diriku cukup pantas menjadi alasmu untuk selalu bahagia, walaupun hanya sebatas doa yang diam-diam kututurkan.
Suatu hari, salah seorang kawan baik kita berbisik kepadaku, katanya kamu juga menyimpan rasa yang sama. Harapan kecil sempat menyala; aku sempat dibuat berseri-seri oleh kata-katanya. Ada perasaan yang memercik, seakan-akan itu sinyal tepat untuk mengutarakan segalanya. Namun tak ayal, semua itu runtuh seketika ketika aku tahu bahwa apa yang kudengar hanyalah permainan semu, entah niatnya tengah bercanda atau hanya iseng. Rasanya seperti rebah dari ketinggian harapan yang terlalu cepat kubangun. Aku terjatuh pada kenyataan yang pedih, dan sejak saat itu aku belajar: harapan yang kelewat tinggi selalu menuntut tebusan yang tidak ringan.
Kendatipun begitu, aku lebih memilih untuk tetap diam. Lebih kurang dua tahun kita singgah dalam pelbagai peristiwa, bertukar segala hal-hal kecil yang kita miliki, namun lagi-lagi aku tak pernah benar-benar jujur tentang apa yang bersemayam di dalam hatiku. Bahkan ketika kamu mulai dekat dengan orang lain—seseorang yang jauh lebih berani, lebih fasih mengekspresikan rasa, dan lebih mudah disenangi banyak orang—sedangkan aku masih menggenggam harapanku sendiri, sekalipun yang tersisa hanya serupa titik embun di ujung daun yang siap jatuh kapan saja.
Aku sadar, perangai hatiku selalu gamang. Aku bukan tipe orang yang mudah diajak berdiskusi. Bahkan berbincang empat mata denganmu saja, aku gemetar. Raut wajahku terlalu jujur, tak pandai menyamarkan rasa. Dunia bisa membacanya, bahkan tanpa aku perlu berkata. Karena itu aku memilih diam. Bagiku diam serupa benteng, menjadi satu-satunya perlindungan agar hatiku tidak mudah timpa oleh luka. Diam yang kadang terasa sesak, namun juga menjadi satu-satunya cara agar aku tetap bisa bertahan.
Hingga pada akhirnya, aku memutuskan untuk menghilang. Aku coba untuk menghindari segala bentuk interaksi denganmu, karena aku tidak tega terus mengusikmu yang sudah semringah bersama orang lain. Aku menutup pintu rapat-rapat: memutus jalin komunikasi, menghilang dari sapa, bahkan berbohong ketika kamu mencariku. Aku hanya bisa berkata bahwa aplikasi pesan milikku sedang dihapus, padahal kenyataannya aku hanya tak tahu bagaimana cara mengendalikan cemburu yang kadung menjalar, menuntut ruang terlalu besar di relungku. Aku gegabah, aku jengah, tapi itulah satu-satunya cara yang kupikir bisa menghindarkanku dari keterlukaan yang lebih berat lagi kala itu.
Namun pada realitasnya aku luluh juga. Aku memilih untuk membuka kembali pintu yang sempat kututup rapat-rapat. Kita pun kembali berbincang seolah tak pernah ada jarak sebelumnya. Masih terekam jelas, kala itu Desember menjelang Januari, hanya beberapa bulan lagi menjelang musim ujian perguruan tinggi. Dari sekian banyak teman sekelas yang mengikuti tes di universitas yang sama, hanya kita berdua yang kebetulan ditempatkan di gedung yang sama. Sebuah kebetulan yang terlalu magis untuk disebut kebetulan semata. Mungkin itu adalah cara semesta untuk mengingatkanku, bahwa rasa ini memang tulen, tidak dubuat-buat, dan sudah terpatri teramat dalam.
Namun, kini semua yang tersisa hanyalah fragmen-fragmen yang masih tersimpan rapi di dalam Hippocampus-ku. Namun ada satu hal yang tetap pasti: aku masih tetap menyukaimu, dengan kadar yang tulus, bahkan ketika aku terlalu pengecut untuk mengatakannya secara langsung. Aku hanya berharap, kamu pernah sedikit saja mengingat, bahwa ada seseorang yang menjadikanmu sebagai alasan untuk tersenyum diam-diam setiap hari, selama lebih kurang dua tahun. Cukuplah jika kenangan ini bisa hidup sebagai himne kecil dalam memorimu—selayaknya ode yang tidak akan pernah usai.