Aug 4, 2018

Dalam Dua Tahun Perjumpaan, Aku Jatuh Diam-Diam

    Pada suatu masa yang kini hanya bisa kuingat dalam kesendirian, kita pernah berada di bawah atap yang sama. Bukan atap rumah atau tempat berteduh saat hujan datang, melainkan atap ruang belajar yang menjadi titik pertemuan tanpa sengaja antara dua manusia yang takdirnya belum tentu berjodoh. Hari-hari berjalan seperti biasa, ramai di luar, tapi selalu penuh tanda tanya di dalam benakku. Tentangmu. Tentang perasaan yang diam-diam tumbuh berseri indah di taman hatiku.

    Aku tidak pernah mengucapkan langsung bahwa aku menyukaimu. Bukan karena ragu. Bukan pula karena takut akan jawaban yang mungkin tidak sesuai dengan yang diharapkan. Aku hanya ingin memastikan bahwa apa yang aku rasakan bukan sebatas penasaran sesaat atau obsesi yang keliru. Aku ingin mencintaimu dengan sadar, tidak dengan gegabah. Aku tidak ingin jika nantinya alasanmu terluka atau sering bersedih justru ketika bersama denganku. Aku hanya perlu memastikan agar cukup pantas sebagai seseorang yang bisa menjadi alasmu untuk selalu bahagia.

    Lalu suatu hari, salah satu dari teman kita berbisik, katanya kamu juga menyukaiku. Ada harapan kecil yang menyala setelah mendengar ucapannya. Sekejap, dunia terasa ringan dan penuh kemungkinan. Namun tidak lama setelahnya aku baru mengetahui, kalau itu hanyalah permainan semu. Entah bercanda, entah iseng, entah benar-benar ingin menjodohkan kita. Tapi yang jelas, saat aku tahu itu tidak benar, rasanya seperti dijatuhkan dari ketinggian harapan yang kubangun terlalu tinggi.

    Meski demikian, aku masih tetap diam. Lebih kurang dua tahun kita telah berbagi apapun yang bisa kita bagi, tapi aku belum pernah menyampaikan apapun dengan jujur. Bahkan ketika kamu mulai dekat dengan orang lain, dengan lelaki yang jauh lebih berani, jauh lebih terbuka, dan begitu mudah disenangi oleh semua orang. Aku masih menggenggam harapanku, walau hanya serupa titik embun di ujung daun.

    Aku memang tidak seperti dia. Aku bukan sosok yang mudah diajak bicara. Bahkan ketika berbincang empat mata denganmu saja, aku gemetar. Raut wajahku tidak pandai menyembunyikan rasa; ketika aku menyukaimu, dunia bisa membacanya tanpa perlu aku berkata. Dan aku pun memilih diam sebagai satu-satunya bentuk perlindungan atas hatiku sendiri.

    Hingga pada suatu hari, aku memutuskan untuk menghilang. Memutus segala bentuk komunikasi antara kita. Bukan karena benci, melainkan karena terlalu terluka melihat kedekatanmu dengannya. Aku membatasi segalanya, mulai dari blokir pesan, hilang dari sapa. Tapi kamu masih mencariku, masih bertanya kenapa tidak bisa menghubungiku. Aku tidak bisa jujur, maka aku berbohong: "WhatsApp-ku sedang di-uninstall," kataku. Padahal sebenarnya aku hanya tidak tahu bagaimana cara menahan cemburu, dan terlalu terburu-buru mengambil keputusan tanpa sempat menyiapkan alasan yang bisa diterima logika.

    Beberapa waktu kemudian, aku luluh. Aku kembali membuka pintu yang pernah kututup. Kita kembali berbincang seperti sedia kala, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Masih ingat betul, saat itu Desember menjelang Januari, hanya selang beberapa bulan menjelang ujian masuk perguruan tinggi. Udara diluar sedang dingin, tapi rasa di dalam dadaku kembali hangat. Lalu, entah mengapa, di antara beberapa teman sekelas kita yang mengikuti tes di satu universitas yang sama, hanya kita berdua yang kebetulan ditempatkan di gedung yang sama. Sebuah kebetulan yang terlalu aneh untuk disebut hanya sebagai kebetulan.

    Mungkin semesta sedang mencoba membantuku mengakui: bahwa aku memang telah jatuh cinta padamu, lebih dalam dari yang pernah aku bayangkan. Bahwa selama ini aku hanya pura-pura kuat, pura-pura tidak peduli, padahal setiap hariku tidak pernah lepas dari bayang-bayang tentangmu. Bahwa aku menyesal tidak pernah mengatakannya dengan jujur, sejak awal.

    Namun semua itu kini hanya tinggal cerita yang masih ku ingat. Tapi satu yang pasti, aku masih mencintaimu dengan tulus, bahkan ketika aku terlalu pengecut untuk mengatakannya langsung. Aku hanya berharap, dalam salah satu hari-harimu yang menyebalkan, kamu pernah sedikit saja merasakan bahwa ada seseorang yang pernah menjadikanmu alasan untuk tersenyum diam-diam, setiap hari, selama dua tahun lebih. Dan orang itu adalah aku.