![]() |
Pakde Didi Kempot pernah berkata, "nganti kapan tak enteni sak tekane" |
Aku memang sengaja datang lebih awal ke taman itu, duduk di sudut yang biasa menjadi tempat pertemuan diam-diam antara harapan dan kenangan. Pandanganku menelisik tiap gerak yang melintas lalu lalang di sekitar. Mataku menyusuri ruang demi ruang, dari kelas sebelah utara hingga lorong kantin yang mulai remang. Di antara gemuruh tawa dan langkah yang tergesa-gesa, aku berharap melihat siluet yang sudah kutunggu, langkah kecilnya, bahunya yang condong sedikit ke kiri, dan raut wajah yang menyimpan sejuta keindahan saat senyumnya merekah.
Dan selayaknya adegan yang diciptakan semesta untuk menggodaku, dia muncul dari kejauhan. Kemudian waktu seakan melambat, dan cahaya senja menyoroti wajahnya yang tampak berseri. Aku melihat dia berjalan seolah seperti slow-mo, sembari menyapa beberapa teman dengan anggukan kecil, namun sorot matanya seakan mencari, entah mencari siapa, atau mungkin itu hanya perasaanku saja yang berharap bahwa akulah tujuannya. Senyumnya… ah, senyum itu, nampak begitu sederhana namun menciptakan gemuruh yang tak kasatmata.
Ia berjalan menembus kerumunan siswa-siswi yang bergegas meninggalkan sekolah, melintasi lorong yang kini diselimuti bayang-bayang temaram. Aku yang memperhatikannya dari jauh, tak berani menyapa, hanya sanggup menunggu dengan ekspresi yang kikuk. Ada rasa yang belum sempat tersampaikan, sebab waktu yang tak pernah benar-benar memberi ruang untukku bisa mengungkapkan semuanya dengan jujur. Tapi sore itu, saat langit mulai menjemput mataharinya untuk pulang. Dan aku merasa seperti berada di halaman pertama dari kisah yang selama ini hanya hidup dalam lamunanku.
Saat ia melewati taman, mata kami saling menangkap satu sama lain. Walaupun itu hanya sepintas saja, tapi cukup untuk menyadarkanku bahwa mungkin─hanya mungkin─ia tahu Bahwa aku ada, bahwa aku sedang menunggunya. Dan di antara senja merah dan koridor sekolah yang sunyi lengang, ada satu rasa yang tumbuh diam-diam, berharap bahwa kelak akan mekar di waktu yang tak lagi kita sembunyikan.
Sore itu berakhir tanpa sempat ada percakapan, namun aku merasa dihujani kebahagiaan yang bertubi-tubi. Dan di senjakala yang tenang itu, aku tahu, jika kisah ini masih belum usai. Ia baru saja dimulai, dalam kesederhanaan, dalam tatapan, dan dalam satu senyuman yang menjanjikan harapan.