Dec 14, 2017

Menanti di Senjakala

    

Pakde Didi Kempot pernah berkata, "nganti kapan tak enteni sak tekane"
     Di suatu sore yang tenang, ketika langit mengguratkan semburat jingga keemasan yang menerpa genting sekolah, aku duduk sendiri di bangku panjang dekat taman kecil yang catnya sudah sedikit mengelupas. Semilir angin yang berembus pelan dari arah utara, membawa debur kenangan yang tiba-tiba terasa semakin mendekap. Jam pelajaran terakhir telah usai beberapa menit yang lalu, dan derap langkah kaki para siswa-siswi mulai sayup-sayup terdengar. Seperti sore-sore pada umumnya. Ada sesuatu yang amat kunantikan, atau lebih tepatnya, seseorang.

     Aku memang sengaja datang lebih awal ke taman itu, duduk di sudut yang biasa menjadi tempat pertemuan diam-diam antara harapan dan kenangan. Pandanganku menelisik tiap gerak yang melintas lalu lalang di sekitar. Mataku menyusuri ruang demi ruang, dari kelas sebelah utara hingga lorong kantin yang mulai remang. Di antara gemuruh tawa dan langkah yang tergesa-gesa, aku berharap melihat siluet yang sudah kutunggu, langkah kecilnya, bahunya yang condong sedikit ke kiri, dan raut wajah yang menyimpan sejuta keindahan saat senyumnya merekah.

     Dan selayaknya adegan yang diciptakan semesta untuk menggodaku, dia muncul dari kejauhan. Kemudian waktu seakan melambat, dan cahaya senja menyoroti wajahnya yang tampak berseri. Aku melihat dia berjalan seolah seperti slow-mo, sembari menyapa beberapa teman dengan anggukan kecil, namun sorot matanya seakan mencari, entah mencari siapa, atau mungkin itu hanya perasaanku saja yang berharap bahwa akulah tujuannya. Senyumnya… ah, senyum itu, nampak begitu sederhana namun menciptakan gemuruh yang tak kasatmata.

     Ia berjalan menembus kerumunan siswa-siswi yang bergegas meninggalkan sekolah, melintasi lorong yang kini diselimuti bayang-bayang temaram. Aku yang memperhatikannya dari jauh, tak berani menyapa, hanya sanggup menunggu dengan ekspresi yang kikuk. Ada rasa yang belum sempat tersampaikan, sebab waktu yang tak pernah benar-benar memberi ruang untukku bisa mengungkapkan semuanya dengan jujur. Tapi sore itu, saat langit mulai menjemput mataharinya untuk pulang. Dan aku merasa seperti berada di halaman pertama dari kisah yang selama ini hanya hidup dalam lamunanku.

    Saat ia melewati taman, mata kami saling menangkap satu sama lain. Walaupun itu hanya sepintas saja, tapi cukup untuk menyadarkanku bahwa mungkin─hanya mungkin─ia tahu Bahwa aku ada, bahwa aku sedang menunggunya. Dan di antara senja merah dan koridor sekolah yang sunyi lengang, ada satu rasa yang tumbuh diam-diam, berharap bahwa kelak akan mekar di waktu yang tak lagi kita sembunyikan.

     Sore itu berakhir tanpa sempat ada percakapan, namun aku merasa dihujani kebahagiaan yang bertubi-tubi. Dan di senjakala yang tenang itu, aku tahu, jika kisah ini masih belum usai. Ia baru saja dimulai, dalam kesederhanaan, dalam tatapan, dan dalam satu senyuman yang menjanjikan harapan.

Aug 20, 2017

Suatu Hari di Bulan Juli.

Suatu hari di bulan Juli. Bertepatan dengan hari Senin yang diawali dengan rintik kecil hujan yang perlahan mulai menggenapi seluruh tepian bumi, dan berbarengan dengan awal masuk sekolah selepas libur semester genap. Tapi tak tahu mengapa, sejak langkah saya mengayun memasuki ruang kelas sebelah kantin itu, segalanya tak lagi terasa biasa.

Saya melihat seseorang yang asing sedang duduk di tengah ruang kelas, wajah baru di antara wajah-wajah lama yang sudah lebih dulu saya hafal bentuk dan suaranya. Mata saya sempat tertambat sebentar padanya, tidak lama, sekilas, namun cukup untuk memantik rasa penasaran. Siapa dia? Mengapa hadirnya terasa begitu kontras di tempat yang seharusnya sudah saya anggap sebagai rumah kedua?

Beberapa hari kemudian, barulah saya mengetahui bahwa dia adalah siswi pindahan dari sekolah lain. Sekilas informasi sederhana yang seharusnya tak membuat detak jantung saya menjadi tak beraturan. Tapi nyatanya, ada yang aneh dalam diri saya. Bukan hanya rasa ingin tahu biasa. Ada sesuatu yang mengusik diam-diam, membentuk gelombang kecil yang tak bisa saya tenangkan dengan logika. Tindak tanduk saya tampak sedikit berubah, sedikit canggung di kelas sendiri, lebih banyak memperhatikan gerak-geriknya, bahkan mulai melakukan hal-hal bodoh yang biasanya tak pernah saya lakukan hanya demi berharap dia memperhatikan.

Saya pikir ini hanya rasa ketertarikan biasa saja, dan mungkin juga ini karena saya sedang memasuki fase-fase romansa masa remaja. Namun ternyata waktu membuktikan bahwa ini bukan tentang kedewasaan perasaan semata, melainkan tentang bagaimana satu pertemuan sederhana bisa mengubah arah seseorang secara drastis.

Selepas itu pun waktu berputar seperti biasa saja. Hingga pada suatu hari yang tenang, masih tertanam jelas di ingatan saya. Saat itu bertepatan hari Jumat, sebuah rentetan notifikasi dari aplikasi pesan singkat Line mengusik tidur pagi saya yang begitu tenang. Ternyata teman-teman di grup kelas sedang mendiskusikan sesuatu, saya yang masih setengah sadar hendak memantau hal apa yang sedang diperbincangkan di situ. Tapi ternyata diantara pelbagai macam notifikasi pesan yang masuk, saya mendapati ada satu pesan dari nama yang tidak asing. Dia menyapa saya terlebih dahulu, mencoba menjembatani ruang kosong antara kami. Sementara saya, dalam kedunguan yang seperti biasa, lalu bertanya, “Bisa dapat kontakku dari mana?” Kemudian dia dengan entengnya menjawab, “Kan kita satu grup, satu kelas juga.” Dan saat itu saya merasa malu bukan main. Kenapa bisa tidak terpikir sampai kesana.

Tapi lucunya, dari satu pesan yang biasa itu, kami mulai mengalirkan percakapan panjang. Mulai dari hal sepele hingga pertanyaan-pertanyaan kecil yang sebenarnya tak perlu dijawab, tapi entah kenapa ingin terus saya tanyakan. Hingga jam hampir memasuki waktu salat Jumat, saya pun berpamitan, dan tak sadar mengakhiri sementara obrolan itu dengan pesan: “Nanti sehabis Jumatan aku kabari lagi.” sebuah kalimat aneh lain yang saya kirimkan. Entah mengapa saya sendiri juga tidak tahu, seharusnya obrolan kami selesai sampai di situ. Sesuatu yang belum pernah saya lakukan dalam lingkup pertemanan mana pun, saya mendapati diri saya berubah menjadi seseorang yang "pandir".

Dan saya pun memang menepatinya. Sesudah salat Jumat usai, saya benar-benar mengabarinya kembali. Tapi kali ini dia yang mempertanyakan, “Terus kenapa laporan sama aku?”

Saya hanya bisa tertawa kecil. Sial. Lagi-lagi saya bertingkah debil. Namun ada sesuatu yang menyenangkan dalam kebodohan itu, sesuatu yang membuat saya merasa seperti bocah kecil yang baru menemukan warna baru di halaman hidupnya yang semula hanya hitam-putih.

Selepas hari itu, kami pun mulai membentuk kebiasaan baru. Saling menyapa, bertukar cerita, bahkan saat tubuh kami sudah terpisah dari bangku kelas. Dia menjadi pesan pertama yang saya baca saat pagi, dan pesan terakhir yang saya tutup sebelum tidur. Padahal kami satu kelas, dan sangat mudah bila ingin mengobrol langsung tanpa harus meminjam sinyal dan kuota. Tapi entah mengapa ruang maya terasa lebih nyaman, lebih hangat, dan lebih jujur. Tanpa khawatir mengganggu atau diganggu oleh siapa pun.

Namun segenap hal yang manis pun perlahan mulai menyimpan getirnya sendiri. Seiring waktu bergulir, saya mulai bertanya-tanya: apakah kami benar-benar hanya sebatas teman? Atau ini hanya saya, yang jatuh terlalu dalam sementara dia tetap berada jauh di permukaan?

Dia tetap menjadi ramah, tetap hadir, tetap membalas pesan-pesan saya. Namun saya bisa merasakan jarak yang tak kasat mata, tumbuh seperti kabut tipis di antara kami. Saya mulai cemas setiap kali dia terlambat membalas. Saya mulai kecewa ketika ceritanya mulai melibatkan orang lain. Walaupun saya tidak pernah menyatakan apa-apa secara langsung, dan saya tidak pernah menyebut kata “suka” atau “rindu” atau “ingin bersamamu lebih lama”. Tapi semua sikap saya adalah isyarat, dan seluruh pesan saya adalah petunjuk.

Puncaknya adalah, ketika saya tidak sengaja melihat dia tengah berjalan dengan orang lain. Seseorang yang juga saya kenal, tapi tatapannya ke orang tersebut berbeda. Dan dari sana saya memahami, mungkin sedari awal saya hanya bermain sendiri dalam cerita yang kusebut “kita.” Saya pun perlahan mulai menjauh karena tak tahu lagi bagaimana harus mendekat tanpa menyakiti diri sendiri maupun orang lain. Dia mungkin tidak sadar, atau mungkin sadar akan tetapi memilih untuk tetap diam. Dan justru diam itu jauh lebih menyakitkan daripada penolakan.

Pada akhirnya setiap kali mengingat bulan Juli, saya tidak lagi melihat kali pertama dalam hidup dihukum karena telat datang ke sekolah. Kini yang saya lihat adalah pertemuan pertama yang tidak pernah saya ekspektasikan akan berakhir menjadi luka. Tapi toh, hidup memang seperti itu. Beberapa cerita memang ditulis hanya untuk dikenang, bukan untuk dijalani sampai akhir.

Dia, adalah salah satu bab terbaik yang sampai saat ini belum pernah berhasil saya akhiri dengan kalimat bahagia. Namun tidak apa-apa. Setidaknya, saya pernah merasa sebahagia waktu itu, ketika kami bertukar cerita hingga larut malam.