Jul 1, 2025

Ruang Tetirah yang Bernama "Tidak Tahu"

    Saya acap kali kelewat bingung tiap ada seorang kawan yang meminta nasihat mengenai konflik dalam hubungannya. Bukan karena tidak mampu berseloroh atau menyusun ode tentang keretakan, tapi karena saya selalu berpegang pada satu pakem bahwa: memberi testimoni atas sesuatu yang tidak pernah benar-benar saya alami adalah manifestasi kebodohan yang mutlak, semacam ejawantah dari masturbasi ego yang berkedok empati.

    Saya meyakini bahwa setiap orang memiliki arus batin yang tak serupa. Spektrum emosinya terlampau luas, melingkupi rasa takut ditinggal, harap untuk dipahami, hingga peruntungan tentang siapa yang lebih dulu mengalah saat terjadi perdebatan yang memekik tanpa henti. Dan saya, yang bahkan belum pernah menggadaikan tidur demi menjaga seseorang yang ingin didengar di tengah malam, sungguh tidak layak memberi saran yang seolah-olah adiluhung.

   Lantas, apa yang bisa saya katakan? 'Bahwa mereka harus saling mendengar?' 'Bahwa cinta butuh ruang dan waktu?' Bukankah semua itu cuma tajuk kosong dari artikel daring yang ditulis dengan tergesa-gesa, lalu disebarluaskan secara masif, seolah-olah ada satu formula universal untuk mendamaikan pertikaian yang tertanam dalam tapak hubungan. Saya tidak ingin jadi seperti itu, saya tidak ingin menjelma menjadi insan yang mendompleng keresahan pada orang lain hanya demi terlihat relevan. Karena pada akhirnya, konflik bukan soal siapa yang paling benar. Ia adalah tentang siapa yang bersedia kehilangan sebagian egonya agar yang lain tetap merasa cukup.

    Saban kali seseorang berkeluh ihwal hubungannya pada saya, saya lebih sering diam. Saya biarkan mereka menuturkan sendiri fragmen-fragmen yang tercecer. Kadang saya hanya mengangguk, sebab saya tahu, yang mereka cari bukan solusi. Yang mereka cari adalah ruang tetirah, tempat segala keluh bisa dibaringkan tanpa perlu ditimbang-timbang kadar benar-salahnya.

    Dari situ saya belajar, bahwa sebagian dari konflik dalam hubungan sebenarnya tidak berkutat tentang hal-hal besar. Seringkali hanya perihal semiotika yang tidak disepakati: siapa yang harus lebih dulu menyapa, seberapa cepat membalas pesan, atau bagaimana menanggapi perubahan nada dalam satu percakapan. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang tidak pernah dibicarakan akhirnya akan menjadi bara yang membakar. Timbul-tenggelam, lalu meledak dalam satu adu kelahi yang tak pernah benar-benar selesai, dan hanya meninggalkan gaung pertanyaan: "Kenapa kita jadi begini?"

    Saya pernah menulis, bahwa setiap hubungan adalah barisan kemungkinan yang tidak bisa ditebak. Kita berjalan dengan rasa, bertemu di simpang keterbatasan bahasa, dan berharap lawan bicara bisa membaca apa yang tidak kita tuturkan. Tidak semua orang punya kemauan untuk nguda rasa, ada beberapa tipe manusia yang lebih nyaman menyimpan semuanya sendiri. Sebagian orang hidup dalam strata logika yang berbeda. Ada yang senyap karena kecewa, ada yang kelu karena tidak tahu harus berkata apa. Dan ada juga yang justru membuncah, marah-marah bukan karena didasari kebencian, tapi karena ingin dipeluk setelahnya. Sayangnya, tidak semua orang tahu cara menyeberangi spektrum itu.

    Maka, bila kau tanya pendapat saya tentang hubungan yang sedang dilanda perselisihan, saya hanya bisa menawarkan pada satu kesimpulan sederhana: bahwa kadang cinta tidak perlu disusun dalam rentetan kalimat. Ia cukup dibuktikan dari cara seseorang memilih untuk tetap tinggal, meskipun tidak ada satupun argumen yang berhasil dimenangkan. Dan bila akhirnya ada yang memilih pergi, maka terimalah itu sebagai bagian dari kadar resiko mencintai. Sebab segala yang kita genggam, selalu punya kemungkinan lepas. Itu hukum yang tidak bisa kita tawar, vice versa, kita pun bisa saja jadi yang pihak yang melepaskan.

    Saya kira, tidak ada satu pun yang benar-benar rampung dalam konteks hubungan. Ada yang selesai tapi tidak benar-benar usai, ada yang memilih tetap tinggal tapi jiwanya sudah lama beranjak. Ada yang tetap bersama, tapi hanya sekadar untuk mempertahankan ide tentang kebersamaan itu sendiri. Di balik semua itu, saya hanya bisa merawat diam yang tak sempat jadi suara. Kadang cukup bersandar pada himne yang sentimental, kadang dengan menuliskan sinisme kecil dalam catatan yang kumuat dalam satu goresan ala kadarnya seperti ini.

    Kalau saya boleh jujur, kadang saya iri pada mereka yang berani memboyong rasa ke hadapan konflik. Yang tidak takut dilabeli lemah, yang pandai menata kata, merangkai ejaan, lalu meletakkan perasaan di tengah-tengah percakapan—dengan segala resiko akan ditertawakan, dibantah, atau dicampakkan. Tapi mungkin itulah yang membedakan mereka dengan saya. Mereka memilih untuk hadir, sementara saya lebih sering memilih lengang. Menepi. Karena bagi saya, diam adalah satu-satunya ruang yang tidak mengganggu siapa-siapa.

    Dan dari semua itu, saya akhirnya belajar satu hal yang terpatri hingga saat ini: bahwa tidak semua yang mengerti cara menulis tentang rasa, juga mengerti cara menyampaikannya langsung pada orang yang menjadi sebab dari rasa itu sendiri.