Jun 16, 2025

Antara Kita dan Boneka Beruang

    

this image is generated with AI
Loro ati kan? Salah e tulus.

    Di sebuah Sekolah Menengah Atas yang berlokasi di pinggiran kota, Rafa dikenal sebagai siswa yang pendiam. Tak banyak kata keluar dari mulutnya kecuali saat menjawab pertanyaan guru atau mengangguk kecil pada sapaan teman. Namun, di balik sunyinya, ia menyimpan ketertarikan yang tak biasa pada seorang perempuan yang juga teman satu kelasnya, sosok ceria yang senyumnya bisa membuat pagi mendung terasa lebih terang. Perkenalan mereka tak muluk-muluk. Berawal dari saling meminjam alat tulis, lalu lanjut bertukar cerita lewat aplikasi pesan singkat LINE atau WhatsApp. Namanya Clara, seorang perempuan yang mampu 

    Selepas itu, hari-hari terasa lebih berwarna bagi Rafa. Ia yang biasanya memilih duduk menyendiri di pojok kantin, kini kerap berbagi bangku dengan Clara, menyeruput teh poci sambil membicarakan hal-hal remeh yang justru membuat hari-hari mereka terasa hidup. Rafa diam-diam menyukai Clara, tapi tak pernah berani untuk menyatakan secara langsung. Namun dari perhatiannya, waktu yang ia berikan, serta caranya memandang, semuanya bicara lebih banyak dari pada kata-kata.

    Namun, seperti cerita yang terlalu indah untuk tetap sederhana, segalanya berubah pada suatu siang di hari Rabu selepas ujian akhir semester. Hari itu, Rafa duduk sendirian di kantin, menenangkan diri setelah menghadapi soal Geografi dan Matematika, kombinasi mata pelajaran yang membuat kepalanya pening. Ia membeli teh poci dari ibu kantin langganannya dan terlibat percakapan ringan, seperti biasa.

    Tanpa disadari, waktu bergulir terlampau cepat. Matahari sudah mulai condong ke barat. Rafa tersentak dan buru-buru kembali ke kelas, berniat mengambil tasnya dan segera pulang. Tapi pintu yang terbuka lebar justru memperlihatkan pemandangan yang membuat tubuhnya membatu di depan pintu. Di dalam kelas yang sudah kosong karena semua siswa sudah pulang, terlihat seorang laki-laki dari kelas IPA 2 tengah berlutut di hadapan Clara, memegang sebuah boneka beruang berukuran cukup besar. Rafa terpaku, dunianya seakan terhenti. Di kepalanya langsung tergambar detik-detik yang biasanya ia nikmati bersama Clara, kini terasa seperti mimpi yang tiba-tiba berubah menjadi kabut yang menutup pandangan. Dengan suara pelan, ia meminta maaf karena telah mengganggu momen kedua orang tersebut, kemudian bergegas untuk mengambil barang-barangnya dan segera melangkah keluar secepat mungkin.

    Hari-hari setelahnya berubah menjadi sunyi. Tidak ada lagi senyum yang saling bersambut saat peralihan jam pelajaran. Tidak ada lagi obrolan ringan di bangku kantin. Mereka serupa dua orang yang pernah dekat, lalu asing, tidak saling menghiraukan. Rafa tidak pernah menanyakan, Clara tidak pernah menjelaskan. Hening itu menggantung cukup lama, hingga akhirnya menjadi jeda yang tidak pernah usai.

    Pada akhirnya Rafa pun belajar untuk menerima. Bahwa tidak semua kedekatan harus berujung menjadi kisah, dan tidak semua rasa harus diterjemahkan menjadi kepemilikan. Namun, jika suatu waktu nanti ada seseorang yang bertanya pada Rafa tentang apa yang pernah membuat hidupnya terasa berarti, ia akan dengan tegas menjawab, "Waktu itu, saat aku duduk di kantin, menyeruput segelas teh poci, melihat dan mendengar Clara tertawa. Sesederhana itu."


*Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian, maupun cerita, itu hanyalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Jun 7, 2025

Menjaga Asa Menuju Pentas Piala Dunia

    

Kredit foto: Official website the-afc.com
      

     Sore itu, mendung menggantung di atas langit Senayan, namun di dalam Stadion Utama Gelora Bung Karno, semangat para suporter justru semakin membara, menyala, dan berapi-api. Pada malam yang sarat harap itu, Timnas menuliskan satu babak penting dalam epos panjang sepak bola Indonesia. Kepastian melaju ke fase berikutnya bukan sekadar hasil, melainkan bukti bahwa tekad dan keyakinan bisa membelah jalan menuju mimpi. Piala Dunia 2026 kini bukan bayang semu, tapi cahaya yang mulai tampak di ujung perjalanan. Ketika lagu kebangsaan berkumandang dan puluhan ribu suara menjelma satu getaran, Stadion Gelora Bung Karno seolah menjelma bak altar pengabdian. Punggawa Garuda bermain tidak hanya dengan kaki, tetapi dengan hati yang ditopang jutaan harapan dari pendukungnya. 

    Timnas Indonesia meraih kemenangan tipis namun penuh makna: 1-0 atas China, sebuah skor yang membuka gerbang menuju ronde keempat kualifikasi yang akan digelar Oktober mendatang di Arab Saudi dan Qatar. Gol tunggal itu datang dengan sunyi yang mendebarkan. Ole Romeny, seorang penyerang yang selama ini menjadi kepingan puzzle yang hilang dari skuat Timnas Indonesia, berdiri gagah di titik dua belas pas. Nafas tertahan, waktu seolah membeku, dan seisi stadion pun turut berharap cemas. Lalu, dengan satu langkah mantap dan sepakan menyusur tanah yang meluncur ke sisi kiri gawang, menipu penjaga gawang China yang melompat ke arah sebaliknya. Dan, GOLLL... Stadion pun meledak dalam gegap gempita, dalam riuh syukur dan pelukan-pelukan yang tak ingin lepas.

     Kemenangan ini diraih di tengah badai absennya para pemain kunci. Marselino Ferdinan dan Maarten Paes harus menepi karena akumulasi kartu kuning. Sandy Walsh dan Ragnar Oratmangoen yang sedang dibekap cedera, sementara Eliano Reijnders tidak ikut serta karena mendampingi istrinya yang tengah melahirkan. Namun, dari keterbatasan itu justru tercipta kesempatan bagi pemain yang lain untuk menunjukkan tajinya.

     Salah satunya adalah kembalinya seorang tokoh lama: Stefano Lilipaly. Setelah terakhir kali membela Merah Putih pada Agustus 2023, malam itu ia kembali berlari membawa semangat, pengalaman, dan keteduhan dalam setiap sentuhan bolanya. Suaranya menggema, geraknya menular, dan kehadirannya seakan mengingatkan pada khalayak bahwa darah Garuda tak pernah betul-betul hilang dari nadinya.

     Tidak hanya itu, malam itu juga menjadi panggung pertama bagi Beckham Putra di era kepelatihan yang baru. Debutan muda yang langsung menyatu dalam irama tim. Ia nampak tidak canggung sama sekali, juga tak gentar menghadapi lawan, dan justru berkali-kali menyulitkan lini belakang China. Beberapa peluang berbahaya yang tercipta berasal dari kecepatannya, keberaniannya, dan ketajaman instingnya dalam membaca ruang.

     Di bawah mistar, ada nama lain yang juga menorehkan debutnya dengan gemilang: Emil Audero, kiper yang sempat membela klub-klub besar di Seri A Italia seperti Juventus, Venezia, Sampdoria, Inter Milan, dan Como 1907. Ia tidak hanya menjaga gawang, tapi menjaga mimpi seluruh negeri. Beberapa kali ia terbang, menjatuhkan diri, dan menepis bola dengan refleks tajam, menggagalkan peluang emas yang hampir saja membungkam seisi stadion.

     Kemudian di poros tengah, ada sosok Joey Pelupessy. Ia bukan hanya sekadar gelandang bertahan, tetapi juga pemilik ritme permainan pada malam itu. Seperti metronom yang dijalankan dengan presisi ala Pirlo, ia menjaga tempo, menyeimbangkan serangan dan pertahanan, serta menjadi penghubung antar lini yang membuat alur permainan Indonesia begitu rapi dan terstruktur.

   Semua ini menunjukkan satu hal yang tidak terbantahkan: padunya permainan timnas Indonesia. Tidak ada ego, tidak ada keretakan. Yang ada adalah kekompakan yang lahir dari keyakinan bersama bahwa mereka sedang menapaki sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertandingan. Mereka adalah simbol dari harapan, dari kerja keras, dari mimpi yang kini mulai terasa bisa disentuh.

     Lini ke lini berbicara dalam bahasa yang sama. Pertahanan disiplin, lini tengah bekerja tanpa lelah, dan lini serang yang berani menusuk ke jantung pertahanan lawan. segenap pemain dari Liga 1 yang bermain pada malam itu seperti Egy Maulana Vikri, Ricky Kambuaya, Yakob Sayuri, Rizky Ridho, Beckham Putra, dan Stefano Lilipaly menunjukkan bahwa Liga sepak bola dalam negeri memiliki kualitas yang tidak kalah dengan para pemain yang berkarir di luar negeri. Kehadiran mereka bukan hanya sebagai penghangat bangku cadangan saja, tetapi juga menjadi pelengkap yang sanggup mengubah arah cerita.

    Begitulah malam itu ditutup: dengan pelukan, dengan nyanyian, dan dengan keyakinan. Bahwa kali ini, Garuda benar-benar siap terbang lebih tinggi. Bahwa mimpi itu tak lagi terlalu jauh untuk diraih. Bahwa kita bukan lagi penonton tetap di pinggir panggung, kita kini telah menjadi bagian dari cerita besar sepak bola dunia. Dari Senayan, kita menatap langit dengan satu harap: biarkan bintang-bintang di langit Timur Tengah nanti yang akan menjadi saksi bisu Timnas Indonesia menapaki jejak di panggung agung Piala Dunia 2026.

Jun 2, 2025

Senin Pertama Bulan Juni

this image is generated with AI

From sharing everything to not even uttering a single word.


Seperti dua orang yang pernah dekat, lalu asing, dan tidak saling menghiraukan.

    Senin pagi itu tidak gaduh, dan tidak juga sepi. Seolah langit lupa caranya menangis, dan bumi tidak tahu lagi caranya tertawa. Seperti dua manusia yang pernah berbagi rahasia di bawah rindangnya masa lalu, kini duduk di bangku yang sama, tetapi saling diam. Tidak pernah menyapa. Tidak tahu harus mulai dari mana. Hanya diam. Seolah yang tersisa hanyalah kehangatan, dan tidak cukup kuat untuk kembali menyulut api.

Seperti seekor marmut yang terus berputar dalam roda penyesalan.

    Keriuhan kota tidak sepadan dengan keheningan di relung jiwa. Di luar, semuanya berjalan serba cepat: klakson kendaraan, langkah kaki yang tergesa-gesa, dan berita-berita yang disiarkan di awal pagi. Tapi di dalam kepala, ada satu pikiran yang terus menggelinding: seandainya aku lebih berani, mungkin kita masih berbicara. Seperti marmut yang berlari di dalam roda, berputar, lelah, tapi tidak pernah sampai. Penyesalan bukan soal waktu, tapi arah yang tidak pernah dipilih.

Seperti orang yang diam-diam memenuhi catatannya dengan perasaan yang tidak tersampaikan.

    Udara membawa kabar kesunyian. Ia merasuk ke sela-sela kancing baju dan menetap di dalam perasaan. Seseorang yang sedang menatap halaman kosong di depan matanya, bukan karena tidak tahu apa yang ingin ditulis, tetapi karena takut jika tulisannya akan membuatnya rapuh. Lalu satu demi satu kata dituangkan, diam-diam, pelan-pelan. Perasaan-perasaan yang tidak sempat ia ucapkan, kini menjadi rahasia yang hanya bisa dibaca oleh kertas dan tinta.

Seperti sedang terbang menujumu sembunyi-sembunyi.

    Langit tidak sedang menangis, tapi ia juga tidak cerah. Seperti perasaan yang tidak diberi nama, mengambang, samar, enggan dijelaskan. Seperti sedang terbang, tetapi tidak menggunakan sayap, melainkan dengan ingatan. Menujumu, diam-diam. Lewat detak jam, lewat bayangan di cermin, lewat lagu yang tiba-tiba terputar di tengah perjalanan. Kau tidak pernah tahu, atau bahkan tidak peduli. Namun aku selalu mencarimu dalam bentuk-bentuk yang tidak terduga.

Seperti berusaha menyibukkan diri, agar terlihat sedang tidak memikirkanmu.

    Di atas meja kerja, jari-jari sibuk mengetik hal yang tidak berarti. Di luar, dunia melihatku produktif, efisien, berguna. Tapi di sela-sela semua itu, ada jeda-jeda kecil yang kugunakan untuk mengingatmu. Menyibukkan diri bukanlah solusi, tapi penyangkalan. Aku berpura-pura sibuk agar tidak terlihat sedang menunggumu. Padahal dalam kesendirian, aku selalu berharap kamu akan tiba-tiba hadir.

Seperti hujan yang mengguyurku agar rinduku berhenti membara.

     Hujan turun secara perlahan, seperti isyarat yang diberikan oleh semesta bahwa luka juga harus segera diredakan. Tapi dingin yang tercipta tidak cukup kuat untuk memadamkan rinduku. Ia bukanlah bara yang meletup-letup, ia adalah nyala kecil yang senantiasa terus bertahan, hangat tapi menyakitkan. Hujan yang datang hanya sebagai pengalih dan sebagai pelipur. Tapi bahkan tetes-tetesnya pun menyerupai suaramu. Aku masih saja membara, walaupun basah kuyup oleh kenangan.