Jun 5, 2020

Didi Kempot: Tembang, Tangis, dan Tanda Waktu

Kredit foto: whatsgroupofficial at Pinterest.

    Di tanah yang mencintai bahasa sebagai warisan, di antara gelombang nada dan suara gamang dari hati yang retak, ada satu nama yang terpatri begitu dalam: Didi Kempot. Lelaki bersahaja itu bukan hanya seorang musisi. Ia adalah juru bicara dari segenap orang yang tidak bisa mengekspresikan patah hatinya, semacam penerjemah dari air mata yang enggan jatuh secara terang-terangan.

     Pakde Didi, begitu ia akrab dipanggil, adalah semacam legenda yang menanjak pelan, tidak dengan gegap gempita, melainkan dengan konsistensi. Ia tidak mengejar sorot lampu kepopuleran, tapi tetap setia menyalakan suluh dari panggung ke panggung, dari kaset ke kaset, dari lorong kecil kota hingga stasiun kereta, tempat patah hati paling kerap menetap. Ia menyanyikan perasaan orang kebanyakan, dalam bahasa ibu yang tidak pernah kehilangan rumah di telinga masyarakat khususnya di tanah Jawa.

     Bukan perkara mudah menjaga kesetiaan pada satu bahasa dan satu tema: patah hati. Tapi Pakde Didi melakukannya dengan ketulusan seorang seniman, yang tahu persis bahwa luka-luka itu tidak pernah benar-benar usang. Lagu-lagunya bukan sekadar tentang kehilangan, tapi tentang cara manusia mencerna luka yang dimilikinya. Ada yang menangis di bangku stasiun, ditinggal kekasih menuju kota yang lebih menjanjikan. Ada yang dihianati karena tidak punya cukup harta. Ada pula yang mencintai dengan seluruh jiwa, namun tidak pernah dicintai balik. Itu adalah sedikit dari banyaknya tema yang mengangkat tentang patah hati.

    Ratusan lagu tercipta. Dan nyaris semuanya ditulis dengan tangan yang seolah mengerti betul medan luka. Didi Kempot tahu di mana harus meletakkan rasa kecewa, bagaimana menyisipkan harapan dalam jeda, dan kapan membiarkan duka mendekam begitu saja. Lalu, seiring waktu, tembang-tembang itu menemukan nyawanya, bukan hanya di telinga para pendengar lawas, tapi juga di dada generasi baru yang mulai kelelahan menjadi tangguh sepanjang waktu.

    Sekira medio tahun 2019, dalam satu acara YouTube yang dipandu oleh Gofar Hilman, nama Didi Kempot kembali mencuat. Tapi bukan seperti artis lama yang mencoba kembali tenar. Ia justru disambut seperti mata air yang telah lama dirindukan. Lagu-lagunya diputar di mana-mana, di bis kota, di radio kampung, di konser daring, hingga di acara-acara resmi. Yang mendengarkan bukan hanya mereka yang hidup di masa lalu, tapi juga anak-anak muda yang baru pertama kali mengenal duka dari patah hati pertamanya.

     "The Godfather of Broken Heart," begitu gelar yang disematkan oleh para penggemarnya. Dan siapa yang berani membantah? Tidak ada langgam patah hati yang lebih tulus dari milik Pakde Didi. Ia tidak pernah menyalahkan siapa-siapa. Ia hanya memeluk rasa sakit itu, menghiburnya, dan menjadikannya sebuah lagu. Seperti jargon yang kerap di gaungkan olehnya yaitu, "sakit hati nggak perlu ditangisi, mending dijogeti"

     Namun takdir, seperti biasa, sering mengambil terlalu cepat yang paling berharga. Tahun 2020, pandemi COVID-19 menerpa seluruh penjuru dunia. Panggung-panggung musik, pentas-pentas kesenian, dan segala bentuk kegiatan yang mengundang kerumunan harus ditiadakan untuk sementara waktu hingga kondisi stabil kembali. Interaksi berubah menjadi  pertemuan-pertemuan secara virtual. Dan di tengah keheningan itulah, kabar duka itu datang. Didi Kempot telah pergi. Meninggalkan kita semua, bahkan sebelum kita merasa puas untuk menyaksikannya bernyanyi secara langsung.

      Ada kehampaan yang tidak tergantikan sejak saat itu. Lagu-lagunya memang masih sering kita putar, tetap kita nyanyikan di sela-sela pesta atau setelah mabuk oleh kehilangan. Tapi suara itu, yang serak tapi lembut, yang nyaring tapi menenangkan, sudah tidak bisa lagi kita dengar secara langsung. Hanya tinggal gema yang terus hidup dalam ingatan para pencintanya.

Epilog: Kita boleh beradu pendapat perihal siapa musisi terbaik sepanjang masa. Tapi untuk perkara anthem orang patah hati, tetap Pakde Didi Kempot yang nomor satu, ora keno didebat!